The Dancing Dolphins in Kiluan

Berbicara tentang keindahan Lampung kini tak hanya sekedar membicarakan tentang atraksi gajah di Way Kambas. Provinsi yang memiliki ciri khas mahkota berbentuk ‘Siger’ ini juga terkenal dengan pesona wisata baharinya. Misalnya, Pantai Kalianda, Pantai Mutun ataupun Teluk Kiluan. Nama yang terakhir bukanlah sebuah nama yang asing  khususnya untuk beberapa kalangan tertentu, seperti para pemancing profesional.  Kiluan merupakan daerah potensial untuk memancing, maka tak mengherankan jika perlombaan memancing atau Fishing Week rutin diadakan di tempat ini selama tahun 2006 – 2009.  
Tak hanya itu, di wilayah ini dapat dijumpai habitat lumba-lumba dalam jumlah besar serta tempat penangkaran Penyu Sisik.

Dan untuk itulah saya, bersama beberapa teman baru yang juga baru saya kenal di perjalanan, bergabung dalam sebuah trip menuju Kiluan.

Dikembangkan dengan konsep ekowisata dan dikelola oleh penduduk setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, Kiluan kini menjadi salah satu tujuan trip yang paling diminati di kalangan backpacker maupun teman-teman fotografer.
Wilayah yang sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tanggamus ini memang menyimpan pesona tersendiri. Dihuni ratusan, bahkan ada yang menyebutkan hingga ribuan lumba-lumba, menobatkan tempat ini sebagai salah satu wilayah dengan populasi lumba-lumba terbanyak di Asia Tenggara sekaligus menjadi daya pikat utama bagi traveller untuk mengunjungi Kiluan.
How to get there?
Perjalanan menuju Kiluan dimulai dari pelabuhan Bakaheuni, Lampung. Dari sini, Kiluan dapat ditempuh dengan menggunakan 2 jalur, yaitu jalur darat dan laut.
Jalur darat merupakan jalur yang paling banyak diakses oleh para traveller atau backpacker selama ini. Menurut informasi dari beberapa teman yang pernah ke sana sebelumnya, perjalanan darat menuju Teluk Kiluan merupakan tantangan tersendiri akibat banyaknya ruas jalan di pesisir barat Sumatera ini yang kondisinya belum terlalu mulus.
Sedangkan jalur laut ditempuh melalui Pelabuhan Canti, pelabuhan yang sama jika kita ingin berwisata ke Krakatau. Masih belum terlalu banyak trip ke Kiluan yang menggunakan jalur laut, dan karena itulah saya memilih bergabung dengan trip yang dimotori Planet Adventure ini ketimbang trip-trip ke Kiluan lainnya yang melalui jalur darat J
Menuju Canti, hamparan sawah, pepohonan hijau maupun bukit-bukit tinggi segera menyegarkan mata dan pikiran untuk sesaat melupakan polusi dan keruwetan di Ibukota.
A Voyage to Kiluan
Dari Canti, perjalanan laut menuju Kiluan dilakukan dengan menggunakan sebuah kapal kayu milik Pak Chandra yang sudah terbiasa menangani transportasi trip laut menuju Krakatau maupun Kiluan.

Pelabuhan Canti

Salah satu keunggulan yang didapat jika menggunakan akses laut adalah pemandangan tebing dan perbukitan hijau yang bisa kita nikmati di sepanjang lautan menuju Kiluan. Namun bagi yang sering mual saat berada di kapal atau bahkan ‘jakpot’, hal ini sebaiknya diperhatikan mengingat ombak saat siang menjelang sore cukup tinggi dan bergelombang, sehingga kapal berulang kali terasa terombang-ambing. 
Pendar lampu rumah penduduk, deretan perbukitan dan pepohonan yang semakin nyata terlihat menandakan jika kapal kami telah memasuki wilayah Kiluan dan segera merapat di Pantai Pulau Kelapa yang akan kami gunakan. Selain perbukitan, kita pun bisa melihat debur ombak yang menghantam karang di beberapa spot saat memasuki wilayah ini.
Mendekati Kiluan, dari kejauhan terlihat teluk berbentuk huruf ‘U’ yang menjorok hingga ke daratan. Bentuk teluk ini membuat ombak dari Samudera Hindia tidak sampai ke wilayah perairan Kiluan, sehingga arus ombak saat memasuki Kiluan terasa semakin tenang.
Snorkeling Spots
Ada beberapa spot snorkeling yang bisa dicoba jika menggunakan perjalanan laut, salah satunya di Pulau Sebeji. Pemandangan bawah air di pulau ini cukup bagus, airnya juga jernih. Beberapa ikan dengan bentuk dan warna yang unik terlihat di beberapa bagian. Spot lainnya untuk snorkeling adalah di Pulau Umang-Umang, yang sayangnya tidak sempat kami coba karena kondisi air laut yang sudah mulai pasang.
Kelapa Island

Putihnya warna pasir pantai Pulau Kelapa masih bisa terlihat meski kapal merapat saat hari sudah beranjak malam. Terasa halus, saat kaki menyentuh pasir. Di Pulau Kelapa ini ada beberapa homestay atau kamar-kamar dari kayu yang disewakan bagi para traveller atau backpacker yang ingin menikmati indahnya malam di pinggir pantai.

Meski letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk, namun tak perlu khawatir akan kelaparan jika memutuskan untuk bermalam di Pulau Kelapa. Beberapa ibu dari desa Kiluan bersedia datang untuk memasakkan makanan selama kita tinggal di sana. Pasokan listrik di Pulau Kelapa masih mengandalkan mesin genset, sehingga listrik hanya menyala pada malam hari. Tak hanya listrik, pulau ini juga menghadapi kendala air bersih. Air yang tersedia untuk membersihkan diri hanyalah air payau.

The Traditional Wooden Boat of Jukung

Untuk bisa melihat lumba-lumba, kita masih harus berlayar ke tengah Samudera dengan menggunakan sebuah kapal kayu berukuran kecil yang biasa disebut 'Jukung' oleh penduduk setempat. Satu jukung hanya bisa digunakan maksimal oleh 4 – 5 orang, termasuk yang mengemudikan Jukung tersebut. Keunikan dari Jukung ini adalah adanya penyangga kayu di kanan dan kiri perahu yang berfungsi untuk menstabilkan posisi perahu saat berlayar di tengah lautan. Salah satu nelayan yang saya temui di homestay bercerita jika penyangga kayu ini memiliki fungsi yang vital bagi Jukung saat tengah berlayar di laut. Sekali saja salah satu penyangga patah atau rusak, bisa dipastikan Jukung akan langsung terbalik.

The Dancing Dolphins

Saat melihat sekelompok lumba-lumba, mulai dari jumlah kecil hingga besar, berenang dan tiba-tiba melompat di udara, itulah atraksi terbaik dari Teluk Kiluan. Mereka pun seolah tak terganggu dengan Jukung kami yang bergerak mengitari dan mengikuti mereka.
Melihat lumba-lumba langsung di habitat asli mereka ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Selain cuaca, faktor keberuntungan juga berpengaruh terhadap kemunculan lumba-lumba. Menurut Bapak yang mengemudikan Jukung saya, beberapa trip sebelumnya harus pulang dengan tangan kosong karena tak ada lumba-lumba yang menampakkan diri.  

Jukung dikemudikan secara berpencar dan berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Selain untuk mencari keberadaan lumba-lumba, juga agar Jukung tidak menganggu pergerakan si mamalia laut ini.
 Photo by Alice Sefiani
Sejumlah sumber menyebutkan setidaknya ada 2 jenis spesies lumba-lumba yang dapat ditemui di Kiluan. Spesies pertama adalah lumba-lumba hidung botol atau dalam bahasa latinnya bernama Tursiops Truncatus. Lumba-lumba ini memiliki badan yang cukup besar dan cenderung pemalu. Sedangkan spesies yang kedua adalah lumba-lumba paruh panjang (Stenella Longirostris). Lumba-lumba dalam spesies ini memiliki ukuran badan yang lebih kecil dan sering melakukan atraksi melompat ke udara.

Feel the difference!

Memotret lumba-lumba menjadi sebuah tantangan tersendiri, khususnya bagi teman-teman fotografer. Tak jarang, saat lensa tengah diarahkan ke kiri, tiba-tiba muncul sekelompok lumba-lumba di sebelah kanan, begitu pula sebaliknya. Kita pun tak boleh lengah saat memotret dan harus bisa menyesuaikan dengan irama laju Jukung sekaligus debur ombak di sisi kanan dan kiri. Karena jika tak berhati-hati, bukan tak mungkin kamera di tangan kita bisa rusak terkena air laut, seperti yang dialami salah satu rekan trip saya.

Bagi yang tidak memotret pun, melihat lumba-lumba langsung di habitat asli mereka merupakan sebuah pengalaman yang sangat menarik. Seringkali teriakan atau bahkan jeritan kami terdengar bersahutan untuk menandakan jika ada lumba-lumba yang terlihat di perairan atau bahkan melompat ke udara.

Kiluan memang cukup lengkap memanjakan hasrat adventure para pelancong. Selain habitat lumba-lumba, para traveller juga bisa melihat pantai, deretan tebing karst, perbukitan dengan panorama yang indah ataupun snorkeling di beberapa spot.

Belum pernah ke sana? Just go there and feel the difference :)
0 Responses