-it was actually written on Nov, 28th 2009-
Jogja itu bermagnet. Selalu menarik setiap orang yang pernah tinggal di sana untuk kembali, meskipun hanya sekedar ‘tuk singgah sejenak.
-------------------------------------------------------
Setelah beberapa kali hanya numpang lewat di Yogya tiap pulang ke rumah, akhirnya bisa juga saya jalan-jalan sampai puas di Yogja. Seharian, dari pagi sampai menjelang maghrib. Tapi setengah harinya habis untuk jalan-jalan di Malioboro dan berburu batik di Bringharjo (hahaha, teteup!), habis murah sih :-).
Yogya kini banyak berubah. Beberapa ruas jalan yang dulunya masih berupa jalan kecil kini sudah diperbesar, bahkan ada yang dijadikan perempatan lengkap dengan bangjo-nya (sebutan untuk traffic light, kependekan dari abang – ijo dalam bahasa Jawa :D). Perubahan tersebut mungkin karena semakin membludag-nya jumlah pengguna sepeda motor di Yogya, I guess.
Jumlah ruko-nya semakin banyak. FO, butik, rental film, ataupun warnet sepertinya kian menjamur. Di sepanjang jalan Malioboro sekarang juga dipenuhi dengan beragam graffiti yang menarik.
Or for closer :
Oh ya, ada lagi. Sekarang Yogya punya Trans Yogya. Seperti Bus Way kalau di Jakarta , tapi ukurannya lebih kecil. Jumlah armadanya mungkin belum sebanyak Bus Way, namun sistem Trans Jogja lebih kurang sama dengan Bus Way. Tapi saya lupa euy harga tiketnya berapa, hehe :). Pas jalan-jalan di Malioboro, iseng saya foto salah satu bus Trans Jogja yang sedang berhenti, persis di depan shelternya. Take a look.
Banyak yang berubah dari Yogya, tapi banyak juga yang tidak (atau belum?) berubah. Harga makanannya masih standar mahasiswa alias murah meriah. Panasnya belum berkurang (meski tidak sepanas cuaca di kota tempat tinggal saya sekarang :D). Beberapa kakek dengan mengendarai sepeda onthel satu-dua kali terlihat di jalan raya.
Di beberapa tempat terutama di daerah sekitar Boulevard UGM seperti Jl. Kaliurang, Condong Catur atau daerah Seturan, saya banyak bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih begitu muda :p. Dari beragam suku dan budaya, pas dengan sebutan Yogyakarta sebagai Indonesia mini.
Di beberapa tempat terutama di daerah sekitar Boulevard UGM seperti Jl. Kaliurang, Condong Catur atau daerah Seturan, saya banyak bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih begitu muda :p. Dari beragam suku dan budaya, pas dengan sebutan Yogyakarta sebagai Indonesia mini.
Begitu pula dengan kawasan Malioboro dan Pasar Bringharjo, belum banyak berubah. Sembari menawar salak lumut di Malioboro, saya sempat memotret suasana Malioboro dari salah satu sisinya.
Atau foto lainnya yang saya ambil ketika sedang memilih rok batik di Pasar Bringharjo.
Seharian jalan-jalan di Yogya membuat rasa kangen saya pada kota ini sedikit terobati. Jogja memang ngangenin. Terutama suasana di malam hari dengan warung makan lesehannya. Ketika masih tinggal di Yogya, makan malam lesehan bersama teman-teman saya anggap sebagai sebuah hal biasa, tak ada yang istimewa. But after I had left Yogya, I just realized that it was a precious moments. Unforgettable. Dan sampai saat ini suasana seperti itu belum saya temukan di kota lain selain Yogya.
Sehari di Yogya memang tidak cukup. Masih banyak tempat menarik lainnya yang sebenarnya ingin saya kunjungi, sayang waktunya yang nggak ada. I promise myself to go back there for holiday again one day, entah kapan :).
Sehari di Yogya memang tidak cukup. Masih banyak tempat menarik lainnya yang sebenarnya ingin saya kunjungi, sayang waktunya yang nggak ada. I promise myself to go back there for holiday again one day, entah kapan :).
Yogyakarta, sering juga disebut dengan Jogja, Jogya, Ngayogyakarta, atau bagi sebagian orang Jawa disebut dengan nama Yodjo, memang kota yang akan selalu membuat rindu siapapun yang pernah tinggal di sana.
Post a Comment