Memotret Mahakam, Dari Manau Hingga Loajana

Siapa yang tak kenal Sungai Mahakam?
Sungai terbesar di Kalimantan Timur ini merupakan identitas sekaligus kebanggaan Provinsi Kalimantan Timur. Berkunjung ke Kalimantan Timur seolah tak lengkap sebelum melihat sungai Mahakam secara langsung dari dekat.
Dengan panjang 920 km, menjadikan Mahakam sebagai salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Bagian hulu sungai terbesar di Kaltim ini melintasi Kabupaten Kutai Barat, sementara bagian hilirnya mengitari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara hingga Samarinda. Sungai Mahakam merupakan muara dari beberapa anak sungai, diantaranya Sungai Belayan, Kedang Pahu, Lawa, dan Sungai Tenggarong.

Perjalanan menyusuri Mahakam selama lebih kurang 4.5 jam dari Manau, Kutai Barat (Kubar) menuju Loajana, Tenggarong Seberang beberapa waktu lalu memberikan sebuah pengalaman menarik buat saya. Jelas terlihat, sungai ini tak hanya sekedar sungai, namun telah menjadi denyut nadi kehidupan bagi sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di sepanjang aliran sungai maupun anak sungai Mahakam.
Meninggalkan Manau di waktu Shubuh, Mahakam menyuguhkan potret berbagai aktivitas penduduk yang dilakukan di sungai ini sedari pagi. Misalnya, sebagai sarana transportasi, sumber mencari nafkah, kegiatan perdagangan, hingga pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian maupun peralatan rumah tangga lainnya serta keperluan MCK.
Kabut Mahakam

Aktivitas warga di Mahakam
Di beberapa tempat lain, ada juga warga yang memanfaatkan aliran Sungai Mahakam untuk mengembangkan usaha keramba. Salah satunya seperti yang ada di Separi Kampung, sebuah desa di Kec. Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar).

Interaksi masyarakat dengan Sungai Mahakam hanyalah sebagian pemandangan menarik yang dapat dijumpai saat menyusuri Mahakam. Bagi kalangan adventurer atau traveller, sungai yang juga menjadi habitat ikan pesut atau lumba-lumba air tawar ini cukup lengkap memanjakan indera dengan hijaunya hutan, perbukitan, rimbun pepohonan, warna warni tumbuh-tumbuhan di pinggiran sungai, serta beragam fauna seperti bangau kecil, monyet dan biawak. Bahkan, beberapa elang tak jarang terlihat terbang di atas Mahakam. Deretan rumah-rumah penduduk berbentuk panggung yang umumnya terbuat dari kayu ulin, tak ketinggalan ikut menyegarkan pandangan mata.
Sebuah spot di pinggiran Mahakam
Pepohonan di Mahakam
Salah satu pemukiman penduduk


Siapa bilang ombak hanya ada di laut? Di beberapa tempat, tak jarang muncul ombak yang memaksa boat kami memelankan lajunya. Tidak terlalu tinggi, namun ombak datang tiba-tiba dengan gelombang yang besar. Memacu adrenalin, melengkapi hasrat adventure menyusuri Sungai Mahakam.
Mendekati Samarinda, kita akan melewati sebuah pulau kecil yang terletak di tengah sungai Mahakam, bernama Pulau Kumala. Patung perunggu Lembuswana, maskot Kerajaan Kutai Kartanegara, terlihat gagah berdiri di ujung pulau wisata kebanggaan Kota Tenggarong ini. Pulau Kumala dapat dijangkau dengan menggunakan jasa sewa ‘ketinting’ (perahu bermotor) yang tersedia di dermaga Kota Tenggarong.  
Patung Lembuswana di Pulau Kumala

Mahakam, Jantung Transportasi
Beberapa wilayah di Kalimantan Timur masih mengandalkan sungai sebagai akses transportasi utamanya, antara lain daerah-daerah di hulu Sungai Mahakam. Salah satu moda transportasi yang banyak digunakan masyarakat di sana adalah taksi air, sebutan untuk kapal angkutan penumpang jarak jauh.

Taksi Air dari Melak menuju Samarinda
Sungai Mahakam tak hanya menjadi jantung transportasi bagi masyarakat, tapi juga untuk kepentingan bisnis. Banyak perusahaan memanfaatkan sungai ini sebagai akses transportasi bagi pontoon pengangkut batu bara maupun kapal untuk mengangkut hasil alam lainnya seperti kayu.

Pontoon pengangkut batu bara
Kapal bermuatan kayu

Mahakam memang bukan hanya sekedar sungai. Sungai ini telah menjadi tumpuan beragam aktivitas sosial masyarakat maupun kepentingan bisnis perusahaan.
Mengutip ucapan seorang tokoh masyarakat yang saya temui di minggu-minggu pertama saya menjejakkan kaki di Kalimantan Timur:

Siapapun yang sudah meminum air Mahakam, satu hari nanti pasti akan kembali ke Kalimantan lagi.
Sebuah cerita lain tentang Mahakam, yang telah turun temurun berkembang di tengah masyarakat. Berkunjung ke Kaltim tak lengkap tanpa melihat sungai Mahakam, dan melihat sungai Mahakam belum komplit rasanya jika belum merasakan nikmatnya air Mahakam.
Dengan segala keunikan, keragaman ekosistem, kealamian alam di sepanjang Mahakam, seharusnya para adventurer kita tak perlu jauh-jauh pergi ke Sungai Mekong di Laos atau Chao Phraya di Thailand untuk merasakan sensasi berperahu menyusuri sungai, karena Mahakam offers you a different sensation of river adventure.

Menengok Batik di Kampung Batik Laweyan

Bengawan Solo, riwayatmu kini…
Sedari dulu jadi perhatian insani…
Mendengar sepenggal lagu Bengawan Solo ciptaan seniman Gesang dalam sebuah acara di televisi seakan membawa pikiran saya hinggap di sebuah kota bernama Solo, Sala atau sering disebut juga dengan Surakarta.
Seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pusat kebudayaan Jawa. Budaya Jawa masih sangat kental terasa di kota yang memiliki slogan The Spirit of Java ini. Tak sulit menemukan nama jalan, gedung, sekolah, atau pasar yang masih menggunakan aksara Jawa honocoroko. Sepasang topeng dari tokoh pewayangan juga terlihat menghiasi beberapa sudut kota. 
Sepasang topeng pewayangan di salah satu sudut kota
Aksara Jawa di salah satu bagian Pasar Klewer
Satu bagian dari budaya Jawa yang tak terpisahkan dari Solo adalah batik.
Batik merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun di kota yang sering diidentikkan dengan perempuan Jawa nan ayu dan lemah lembut ini. Sebuah patung perempuan yang tengah membatik di Jl. Slamet Riyadi seolah menegaskan jika batik telah menjadi identitas kota Solo. Tak ketinggalan, Solo Batik Carnival, yaitu event karnaval batik yang digelar di jalan-jalan utama Kota Solo dengan ratusan peserta berbusana batik, rutin diadakan setiap tahunnya.
Dari sekian sentral batik yang ada di Solo, salah satunya yang tersohor adalah Kampung Batik Laweyan.
Awal April ini, dipandu seorang teman, saya berkesempatan untuk menelusuri lorong-lorong jalan di kawasan yang juga menjadi ikon Batik Solo ini.
Kampung Batik Laweyan terletak tak jauh dari pusat kota, hanya sekitar 10 menit dari stasiun Purwosari atau sekitar 5 km dari Keraton Solo. Memasuki kampung batik ini, kita dapat melihat sebuah peta besar terpampang berisikan sejarah asal mula berdirinya Laweyan. Sejarah Laweyan ini juga diceritakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
 Sejarah dan peta Laweyan
Berasal dari kata ‘lawe’ yang berarti benang dari pilinan kapas, Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan Kerajaan Pajang pada tahun 1500-an, dengan sandang sebagai komoditas utama. Batik di Laweyan sendiri awalnya dikenalkan oleh Ki Ageng Henis, disamping mengajarkan ilmu agama.
Laweyan sempat mengalami kondisi pasang surut. Setelah mengalami penurunan seiring dengan perkembangan Solo sebagai pusat kerajaan, Laweyan kembali mencapai kejayaannya pada abad 20 ketika industri batik tumbuh pesat. Kondisi ini kemudian melahirkan banyak saudagar batik yang kekayaannya bahkan melampaui kaum bangsawan keraton. Dimasa jayanya, para saudagar batik ini tidak hanya mapan secara ekonomi namun juga memiliki kekuatan secara politis. Dari kawasan inilah Syarikat Dagang Islam dahulu dideklarasikan.
Industri batik di wilayah ini kembali surut oleh industri batik printing pada awal tahun 1970-an. Kondisi ini masih bertahan hingga tahun 1900-an. Tak ingin Laweyan hilang tergerus perkembangan zaman, atas prakarsa sejumlah masyarakat kawasan ini kemudian diresmikan sebagai Kampung Batik dan salah satu tujuan wisata di kota Solo oleh pemerintah pada 25 September 2004.
Sebuah gang di satu sudut Kampung Batik Laweyan
Kawasan sentra industri batik ini menyuguhkan konsep dan suasana berbelanja batik yang berbeda. Batik diproduksi sekaligus dipajang di rumah masing-masing pengrajin batik yang sebagian telah dibentuk menyerupai outlet atau butik, lengkap dengan etalase untuk memajang produk batiknya. Tak mengherankan, banyak plang papan nama dengan beragam merek dagang batik terlihat di tiap lorong jalan Laweyan.
Lorong jalan Laweyan


Rumah-rumah batik Laweyan 

Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan rumah para saudagar batik tempo doeloe. Rumah-rumah dibangun dalam ukuran yang besar dengan arsitektur campuran antara tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Setiap rumah juga dilengkapi dengan pagar tinggi atau dalam bahasa Jawa sering disebut juga dengan ‘beteng’, yang menyebabkan jalan-jalan di Laweyan menjadi sempit.
Tapi inilah keunikannya. Meski masih bisa dilalui mobil, namun menelusuri Kampung Batik Laweyan paling menarik dilakukan dengan berjalan kaki. Berjalan menyusuri lorong-lorong jalan di Kampung Batik Laweyan sembari melihat-lihat beragam produksi batik di antara outlet rumah batik di sisi kanan maupun kiri jalan sungguh mengasyikkan. Baju-baju batik berwarna terang dan eye catching dipajang dengan tampilan yang menarik untuk memikat perhatian pembeli.
Jadi, jika Anda tertarik untuk berwisata ke Solo, Kampung Batik Laweyan bisa menjadi salah satu alternatif tujuan wisata. Tak hanya sekedar berbelanja batik namun juga bisa melihat proses pembuatan batik atau sebaliknya, berbelanja sekaligus mengetahui proses pembuatan batik. Terserah Anda :).

The Dancing Dolphins in Kiluan

Berbicara tentang keindahan Lampung kini tak hanya sekedar membicarakan tentang atraksi gajah di Way Kambas. Provinsi yang memiliki ciri khas mahkota berbentuk ‘Siger’ ini juga terkenal dengan pesona wisata baharinya. Misalnya, Pantai Kalianda, Pantai Mutun ataupun Teluk Kiluan. Nama yang terakhir bukanlah sebuah nama yang asing  khususnya untuk beberapa kalangan tertentu, seperti para pemancing profesional.  Kiluan merupakan daerah potensial untuk memancing, maka tak mengherankan jika perlombaan memancing atau Fishing Week rutin diadakan di tempat ini selama tahun 2006 – 2009.  
Tak hanya itu, di wilayah ini dapat dijumpai habitat lumba-lumba dalam jumlah besar serta tempat penangkaran Penyu Sisik.

Dan untuk itulah saya, bersama beberapa teman baru yang juga baru saya kenal di perjalanan, bergabung dalam sebuah trip menuju Kiluan.

Dikembangkan dengan konsep ekowisata dan dikelola oleh penduduk setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, Kiluan kini menjadi salah satu tujuan trip yang paling diminati di kalangan backpacker maupun teman-teman fotografer.
Wilayah yang sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tanggamus ini memang menyimpan pesona tersendiri. Dihuni ratusan, bahkan ada yang menyebutkan hingga ribuan lumba-lumba, menobatkan tempat ini sebagai salah satu wilayah dengan populasi lumba-lumba terbanyak di Asia Tenggara sekaligus menjadi daya pikat utama bagi traveller untuk mengunjungi Kiluan.
How to get there?
Perjalanan menuju Kiluan dimulai dari pelabuhan Bakaheuni, Lampung. Dari sini, Kiluan dapat ditempuh dengan menggunakan 2 jalur, yaitu jalur darat dan laut.
Jalur darat merupakan jalur yang paling banyak diakses oleh para traveller atau backpacker selama ini. Menurut informasi dari beberapa teman yang pernah ke sana sebelumnya, perjalanan darat menuju Teluk Kiluan merupakan tantangan tersendiri akibat banyaknya ruas jalan di pesisir barat Sumatera ini yang kondisinya belum terlalu mulus.
Sedangkan jalur laut ditempuh melalui Pelabuhan Canti, pelabuhan yang sama jika kita ingin berwisata ke Krakatau. Masih belum terlalu banyak trip ke Kiluan yang menggunakan jalur laut, dan karena itulah saya memilih bergabung dengan trip yang dimotori Planet Adventure ini ketimbang trip-trip ke Kiluan lainnya yang melalui jalur darat J
Menuju Canti, hamparan sawah, pepohonan hijau maupun bukit-bukit tinggi segera menyegarkan mata dan pikiran untuk sesaat melupakan polusi dan keruwetan di Ibukota.
A Voyage to Kiluan
Dari Canti, perjalanan laut menuju Kiluan dilakukan dengan menggunakan sebuah kapal kayu milik Pak Chandra yang sudah terbiasa menangani transportasi trip laut menuju Krakatau maupun Kiluan.

Pelabuhan Canti

Salah satu keunggulan yang didapat jika menggunakan akses laut adalah pemandangan tebing dan perbukitan hijau yang bisa kita nikmati di sepanjang lautan menuju Kiluan. Namun bagi yang sering mual saat berada di kapal atau bahkan ‘jakpot’, hal ini sebaiknya diperhatikan mengingat ombak saat siang menjelang sore cukup tinggi dan bergelombang, sehingga kapal berulang kali terasa terombang-ambing. 
Pendar lampu rumah penduduk, deretan perbukitan dan pepohonan yang semakin nyata terlihat menandakan jika kapal kami telah memasuki wilayah Kiluan dan segera merapat di Pantai Pulau Kelapa yang akan kami gunakan. Selain perbukitan, kita pun bisa melihat debur ombak yang menghantam karang di beberapa spot saat memasuki wilayah ini.
Mendekati Kiluan, dari kejauhan terlihat teluk berbentuk huruf ‘U’ yang menjorok hingga ke daratan. Bentuk teluk ini membuat ombak dari Samudera Hindia tidak sampai ke wilayah perairan Kiluan, sehingga arus ombak saat memasuki Kiluan terasa semakin tenang.
Snorkeling Spots
Ada beberapa spot snorkeling yang bisa dicoba jika menggunakan perjalanan laut, salah satunya di Pulau Sebeji. Pemandangan bawah air di pulau ini cukup bagus, airnya juga jernih. Beberapa ikan dengan bentuk dan warna yang unik terlihat di beberapa bagian. Spot lainnya untuk snorkeling adalah di Pulau Umang-Umang, yang sayangnya tidak sempat kami coba karena kondisi air laut yang sudah mulai pasang.
Kelapa Island

Putihnya warna pasir pantai Pulau Kelapa masih bisa terlihat meski kapal merapat saat hari sudah beranjak malam. Terasa halus, saat kaki menyentuh pasir. Di Pulau Kelapa ini ada beberapa homestay atau kamar-kamar dari kayu yang disewakan bagi para traveller atau backpacker yang ingin menikmati indahnya malam di pinggir pantai.

Meski letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk, namun tak perlu khawatir akan kelaparan jika memutuskan untuk bermalam di Pulau Kelapa. Beberapa ibu dari desa Kiluan bersedia datang untuk memasakkan makanan selama kita tinggal di sana. Pasokan listrik di Pulau Kelapa masih mengandalkan mesin genset, sehingga listrik hanya menyala pada malam hari. Tak hanya listrik, pulau ini juga menghadapi kendala air bersih. Air yang tersedia untuk membersihkan diri hanyalah air payau.

The Traditional Wooden Boat of Jukung

Untuk bisa melihat lumba-lumba, kita masih harus berlayar ke tengah Samudera dengan menggunakan sebuah kapal kayu berukuran kecil yang biasa disebut 'Jukung' oleh penduduk setempat. Satu jukung hanya bisa digunakan maksimal oleh 4 – 5 orang, termasuk yang mengemudikan Jukung tersebut. Keunikan dari Jukung ini adalah adanya penyangga kayu di kanan dan kiri perahu yang berfungsi untuk menstabilkan posisi perahu saat berlayar di tengah lautan. Salah satu nelayan yang saya temui di homestay bercerita jika penyangga kayu ini memiliki fungsi yang vital bagi Jukung saat tengah berlayar di laut. Sekali saja salah satu penyangga patah atau rusak, bisa dipastikan Jukung akan langsung terbalik.

The Dancing Dolphins

Saat melihat sekelompok lumba-lumba, mulai dari jumlah kecil hingga besar, berenang dan tiba-tiba melompat di udara, itulah atraksi terbaik dari Teluk Kiluan. Mereka pun seolah tak terganggu dengan Jukung kami yang bergerak mengitari dan mengikuti mereka.
Melihat lumba-lumba langsung di habitat asli mereka ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Selain cuaca, faktor keberuntungan juga berpengaruh terhadap kemunculan lumba-lumba. Menurut Bapak yang mengemudikan Jukung saya, beberapa trip sebelumnya harus pulang dengan tangan kosong karena tak ada lumba-lumba yang menampakkan diri.  

Jukung dikemudikan secara berpencar dan berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Selain untuk mencari keberadaan lumba-lumba, juga agar Jukung tidak menganggu pergerakan si mamalia laut ini.
 Photo by Alice Sefiani
Sejumlah sumber menyebutkan setidaknya ada 2 jenis spesies lumba-lumba yang dapat ditemui di Kiluan. Spesies pertama adalah lumba-lumba hidung botol atau dalam bahasa latinnya bernama Tursiops Truncatus. Lumba-lumba ini memiliki badan yang cukup besar dan cenderung pemalu. Sedangkan spesies yang kedua adalah lumba-lumba paruh panjang (Stenella Longirostris). Lumba-lumba dalam spesies ini memiliki ukuran badan yang lebih kecil dan sering melakukan atraksi melompat ke udara.

Feel the difference!

Memotret lumba-lumba menjadi sebuah tantangan tersendiri, khususnya bagi teman-teman fotografer. Tak jarang, saat lensa tengah diarahkan ke kiri, tiba-tiba muncul sekelompok lumba-lumba di sebelah kanan, begitu pula sebaliknya. Kita pun tak boleh lengah saat memotret dan harus bisa menyesuaikan dengan irama laju Jukung sekaligus debur ombak di sisi kanan dan kiri. Karena jika tak berhati-hati, bukan tak mungkin kamera di tangan kita bisa rusak terkena air laut, seperti yang dialami salah satu rekan trip saya.

Bagi yang tidak memotret pun, melihat lumba-lumba langsung di habitat asli mereka merupakan sebuah pengalaman yang sangat menarik. Seringkali teriakan atau bahkan jeritan kami terdengar bersahutan untuk menandakan jika ada lumba-lumba yang terlihat di perairan atau bahkan melompat ke udara.

Kiluan memang cukup lengkap memanjakan hasrat adventure para pelancong. Selain habitat lumba-lumba, para traveller juga bisa melihat pantai, deretan tebing karst, perbukitan dengan panorama yang indah ataupun snorkeling di beberapa spot.

Belum pernah ke sana? Just go there and feel the difference :)