Cave Tubing Gunung Kidul is in Newspaper


Alhamdulillah, tulisan saya dimuat lagi. Tulisan yang dimuat hari Minggu kemarin (11/11) di harian Pikiran Rakyat bercerita tentang serunya petualangan Cave Tubing di Gua Pindul, Gunung Kidul, Yogyakarta. 
 
Meski daerahnya kering, namun Gunung Kidul merupakan salah satu destinasi wisata favorit di Yogyakarta sejak dulu karena keindahan pantai-pantainya. Diantaranya ada Pantai Baron, Sundak, Krakal, Drini, Kukup, dll. Saat ini, objek-objek wisata pantai di Gunung Kidul semakin bertambah dengan dikenalnya Pantai Siung, Indrayanti, Sadranan, dll. Beberapa pantai bahkan menawarkan wisata khusus, misalnya Siung yang juga menjadi destinasi panjat tebing.

Nah, sekarang ini, Gunung Kidul tak hanya menawarkan keindahan wisata pantai, tapi juga sensasi mengarungi sungai bawah tanah dalam perut bumi atau dikenal dengan nama cave tubing. Cave tubing sekarang ini memang sedang naik daun. Kunjungan tak hanya datang dari masyarakat umum, namun juga public figure, dinikmati turis domestik maupun mancanegara. Cave tubing ini pun telah diliput oleh berbagai media, baik cetak, online maupun elektronik khususnya tayangan jalan-jalan dari beberapa stasiun televisi swasta pun.

Selain cave tubing, kita pun dapat menjajal petualangan body rafting di Sungai Oyo yang masih satu kawasan dengan cave tubing Gua Pindul ini. Sama-sama seru meski sensasi yang ditawarkan berbeda.

Pertama kali ber-cave tubing pada bulan Agustus kemarin, saat air di Gua Pindul maupun Sungai Oyo masih berwarna hijau. Yang kedua, menemani teman site yang pas barengan cutinya di pertengahan Oktober. Airnya sudah mulai berwarna kecokelatan karena sudah mulai turun hujan.

Overall, cave tubing Gunung Kidul asyik menurut saya. Murah, akses mudah, dan menawarkan sensasi berbeda. Mengambang dengan pelampung menyusuri sungai beratap gua, menikmati pemandangan stalagtit dan stalagmit sambil sesekali disuguhi pemadangan kelelawar yang sedang menggantung, menarik bukan? Tak hanya menyusuri sungai namun kita pun bisa berenang ataupun melompat dari tebing ke sungai.

Lebih dari itu, cave tubing menurut saya bisa dijadikan alternatif wisata pendidikan juga. Mengenalkan stalagtit dan stalagmit ke siswa sekolah dengan berwisata cave tubing terdengar sangat menyenangkan.

Selain cave tubing di Gua Pindul, sebenarnya ada satu lagi tempat yang bisa kita jajal, yaitu cave tubing Kalisuci, yang berjarak tak jauh dari Gua Pindul.

Tertarik kan ingin ber-cave tubing?

Kindly check out my latest published writing about cave tubing ya!  

Tanjung Isuy is in newspaper


Minggu pagi 2 minggu lalu, satu bbm masuk, berisi gambar..
Eh ternyata gambar potongan tulisan saya yang (lagi-lagi) dimuat.. Kalau di site, mau Minggu lah, Sabtu, hari besar (kecuali Idul Fitri, Idul Adha dan Natal), kita tetap aja bekerja. Begitu terima bbm itu, langsung semangat bekerja di Minggu pagi, hehe..
Apalagi pas tahu ternyata tulisan saya dimuat 1 halaman full, tanpa selingan artikel lain maupun iklan. Feels such as my honour deh, hehe.. Kalau kata Mas Deny, editor Koran PR, 1 halaman penuh buat terapi recovery saya abis balik dari RS, hehe.. Alhamdullillah..




Back to my writing, tulisan saya yang dimuat itu tentang Tanjung Isuy, sebuah kampung budaya di pedalaman Kutai Barat, Kaltim. Lokasinya nggak begitu jauh dari site tempat saya bertugas. Ternyata, menurut teman-teman saya yang asli Tanjung Isuy atau daerah sekitarnya, kampung ini dulunya seringkali didatangi para wisatawan mancanegara. Bahkan, bisa dalam 1 minggu ada beberapa turis asing yang datang.
Tanjung Isuy sendiri juga disebut dalam buku karangan Lorne Blair, seorang warga negara Inggris, yang berjudul River Gems: A Borneo Journal. Buku ini saya baca nggak sengaja saat jalan-jalan ke Sea  World pas cuti roster beberapa bulan lalu.
Ada beberapa kalimat menarik dari Lorne Blair dalam buku tersebut yang saya kutip tentang Tanjung Isuy dan Danau Jempang, salah satunya yang saya cantumkan sebagai kalimat pembuka tulisan saya yang dimuat itu.
Terus terang saya nggak mikirin honor kalau ada tulisan saya yang dimuat. Terlebih ketika yang dimuat adalah tulisan saya yang menceritakan wilayah-wilayah dekat site tempat saya bertugas.
As I have ever wrote before, ada sebuah keinginan untuk bisa memberikan sesuatu secara pribadi bagi tempat-tempat saya bertugas. Saya suka belajar adat dan budaya, senang jalan-jalan, dan passionate about writing. Apa lagi yang saya bisa lakukan selain menulis keindahan seni dan budaya mereka, dan menyebarluaskannya sehingga masyarakat di luar wilayah tersebut menjadi tahu. Paling tidak, tulisan saya bisa membuat masyarakat di tempat lain, entah di Kaltim sendiri maupun luar Kaltim menjadi tahu atau lebih tahu tentang wilayah ini, atau bahkan kemudian tertarik untuk datang berkunjung.
Meski kecil, tapi semoga apa yang saya lakukan sedikit banyak bisa membawa manfaat buat daerah tersebut. Itulah yang membuat saya sama sekali nggak mikirin honor, bukan karena udah nggak butuh duit, tapi saat apa yang saya inginkan dan usahakan terwujud, rasanya more than seneng banget banget, hehe..
At least, one day, saya juga jadi punya bahan untuk bercerita ke anak atau cucu saya kelak J
Anyway, Project Manager saya, he is South African and in his first year in Indonesia, sempat melihat artikel saya itu. Saya yakin deh beliau tidak terlalu mengerti dengan apa yang saya tulis karena dalam Bahasa Indonesia, namun dari sekretarisnya saya copy jika beliau akan mengajak istrinya untuk berkunjung ke Tanjung Isuy saat libur Natal mendatang :)
Tulisan tentang Tanjung Isuy saya publish habis postingan ini ya, sapa tahu nanti ada lagi yang jadi pengen ikutan berkunjung ke kampung budaya nan memikat ini J

Ukiran Kayu Keren Ada di Desa Ini

 
Bermula dari informasi yang saya baca di sebuah buku tentang sebuah kampung di wilayah sekitar site saya di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat yang terkenal karena keindahan seni ukirannya, tibalah saya dan seorang teman site di kampung yang dimaksud tersebut. Kampung Batu Bura itulah namanya.

Tulisan tentang Kampung Batu Bura termasuk yang paling cepat saya buat, siang saya berkunjung ke kampung tersebut, malamnya sudah saya submit ke detik travel. I was truly amazed with the wood art I saw in the village. Tepatnya ukiran kayu di Sanggar Panahat Bura milik Bapak Jayau, selaku Ketua Lembaga Kesenian Adat Kampung Batu Bura.

Jika melihat perawakan Bapak Jayau sendiri sepertinya sukar untuk percaya jika beliaulah yang mengerjakan seluruh ukiran kayu yang ada di tiap sudut sanggar seninya. Bahkan hingga tiang penyangga rumahnya pun ia bangun dari kayu berukir. Umumnya, penyangga rumah Lamin (rumah panjang khas Dayak) hanya berupa tiang kayu biasa. Pak Jayau tak pernah mengenyam pendidikan seni secara formal, namun cita rasa seninya begitu kentara, indah, dan bersahaja.

Ah, saya sendiri bukanlah orang yang berkompeten untuk membicarakan seni, namun yang saya pelajari dari beliau jika untuk menghasilkan seni yang bernilai tinggi, ada peran hati yang besar didalamnya.

Ia bersama beberapa anggota keluarganya akan dengan ramah menyambut siapapun yang datang berkunjung ke sanggar seninya. Meski usianya sudah nampak sepuh, namun Pak Jayau masih terlihat bersemangat saat bercerita tentang ukiran kayu, pertunjukan tari, hingga turis atau wisatawan yang pernah mengunjungi sanggar seni miliknya. Beruntung saya mendapatkan kesempatan pernah singgah di Kampung Batu Bura dan bertemu Pak Jayau beserta keluarganya. Sungguh sebuah kenangan yang menyenangkan! :)

Jika ingin membaca tulisan selengkapnya tentang Batu Bura, monggo mampir di link detik travel:

http://travel.detik.com/read/2012/07/05/202524/1958814/1025/ukiran-dayak-yang-keren-ada-di-desa-ini 

Tulisan Batu Bura juga ternyata dicopy di link forum Selapa:

www.selapa.com/forum/viewtopic.php?f=11&t=293

Nah berhubung untuk tulisannya bisa diview dari kedua link tersebut, untuk blog ini saya share foto-fotonya saja ya.. Eksklusif deh hanya ditampilin di blog ini :)

Enjoy the pictures! J

Pak Jayau sedang memahat ukiran kayu
Ukiran kayu sebagai sandaran kursi


Patung dan ukiran menuju rumah Pak Jayau
Patung di tempat duduk pengunjung
Ukiran di tangga menuju tempat penyanyi berijok
Patung-patung kayu di sanggar seni


Karimun Jawa is on Newspaper :)


My writing was published (again). Alhamdulillah.
Masih di muat di media yang sama yaitu Pikiran Rakyat, tulisan kedua berjudul “Menyegarkan Diri di Karimun Jawa’. Tulisannya tentu, bercerita saat saya ngetrip di Karimun Jawa.
Di awal Juni lalu, setelah sekian kali berencana ke Karimun Jawa namun terpaksa batal karena alasan cuaca, akhirnya sampai juga saya di kepulauan yang ditulis Harian New York Times sebagai ‘a watery wonderland’.
Begitu turun dari kapal dan menjejakkan kaki di dermaga Karimun Jawa, kata pertama yang melintas ialah, “buset, air di Dermaganya aja sebening ini, apalagi di lautnya,”. Membuat saya tak sabar ingin segera berenang, snorkeling, menyelam-nyelam ringan (baca: tanpa alat selam dan maksimum kedalaman 2 – 3 meter :D).
Dan benar saja, begitu esok harinya selama 2 hari full saya habiskan menjelajahi beberapa kepulauan di Karimun Jawa, puas rasanya memanjakan diri dengan berlibur di sana. Karimun Jawa tak hanya buat berlibur dan bersenang-senang, tapi juga bisa untuk menguji adrenalin. Yup, berenang bersama hiu jika berani. Menurut guide lokal saya di sana, namanya Mas Kuntet, ada kepulauan di mana kita bisa menemukan hiu-hiu karang berenang di bawah kita. Sayangnya keterbatasan waktu membuat saya dan rombongan trip tak pergi ke sana. Sebagai gantinya, berenang bersama hiu di penangkaran hiu Pulau Menjangan tak kalah menguji nyali kita. Berenang sih bentar, foto-foto iya, jejeritan apalagi.
Anyway, tulisan tentang Karimun Jawa bisa dibaca di postingan setelah tulisan ini. Seperti biasa, euphoria melihat tulisan dan nama sendiri muncul di media membuat saya (kembali) bertingkah norak. Sasarannya kali, tak lain adalah teman-teman akrab saya di kantor yang memang sudah tahu saya suka menulis. Untungnya mereka sudah mahfum jika saya mengirimkan email dengan subject ‘dimuat lagi’ berikut janji mau mentraktir bakso, hehe..
 
Enjoy reading the next post, dan doain saya ya biar tulisan-tulisan saya yang lain bisa sering dimuat lagi dan lagi J

Ketika Agak Norak

Well, agak norak. Itu mungkin penggambaran diri saya semalam tadi pas dikabarin kalau tulisan saya tentang Sangasanga dimuat di harian lokal terbesar di Jawa Barat khususnya Bandung.

Seneng banget, sampai tadinya foto print screen tulisan mau saya pasang jadi profil bbm. Norak ya? Emang, hehehe..

Sebenernya kalau saya merasa seneng banget tulisan saya dimuat ada beberapa alasan. Salah satu alasannya karena dimuat itu sendiri, dibaca banyak orang, plus dikasih honor pula. Alasan lain, yang serius dan menjadi basic reason saya menulis, karena saya ingin memberikan suatu kenang-kenangan untuk tempat-tempat yang saya datangin khususnya karena tugas / dinas pekerjaan.
Pertama saya datang ke Sangasanga tahun 2010, stay 2 minggu terus pindah ke site yang lain sampai bulan Desember 2011. Dari pertengahan Desember itu, saya stay agak lama di Sangasanga dan nggak ada pindah-pindah site-nya sampai Maret 2012. Nggak lama memang, tapi cukup untuk membuka mata saya jika kota tersebut memiliki sebuah potensi lain yang punya potensi untuk dikembangkan.

Dan, saya ingin tak hanya datang ke suatu tempat hanya untuk mencari rezeki, namun juga bisa memberikan sesuatu secara pribadi. Maksudnya gini, dalam pekerjaan saya di bidang CSR yang memang berhubungan erat dengan masyarakat, sudah banyak kegiatan pengembangan masyarakat yang kami lakukan, atau setidaknya kegiatan untuk mendukung kegiatan pengembangan para stakeholder di sana. 
Tapi, saya tak ingin memberikan sesuatu ke tempat di mana saya mencari rezeki hanya karena pekerjaan. Mungkin kalau membangun sesuatu atau memberikan bantuan dana, tak mampulah awak saat ini. Yang saya suka dan bisa adalah jalan-jalan dan menulis. Kenapa saya tak lakukan itu, menulis tentang potensi kota yang saya datangi?

Ketika tulisan saya dimuat, buat orang diluar Sangasanga ataupun Kalimantan Timur yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu tentang Sangasanga. Ataupun mungkin sebelumnya sudah tahu namun menjadi lebih paham lagi tentang kota ini. Siapa tahu esok hari berkunjung ke Balikpapan atau Samarinda, karena sebelumnya pernah membaca tulisan saya tentang Sangasanga jadi kepikiran untuk berkunjung ke Sangasanga yang memiliki 2 kali perayaan hari Kemerdekaan dalam 1 tahun, yaitu HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus dan Hari Kemerdekaan Sanga tiap 27 Januari.
Begitu juga untuk tulisan lain tentang tempat saya bertugas sekarang yang sedang saya kembangkan. Harapannya sih seperti itu.

Setidaknya, saya membantu mengenalkan kota itu pada masyarakat lain di luar mereka. Dan ketika keinginan itu beneran tercapai, itulah yang sebenarnya membuat saya seneng abis. Selain dimuat dan melihat nama saya tercantum, tentu saja. Dapat honor malah Sebenarnya nggak masuk hitungan, bukan sok kelebihan duit, tapi melihat tulisan saya dimuat dan keinginan saya tercapai, itu sudah lebih dari cukup buat saya sekarang.  
Anyway, mungkin karena inilah jalan saya emang bukan jadi wartawan. Nggak lucu aja kalau misalnya saya misalnya jadi wartawan dan tiap hari senyum-senyum sendiri sambil liatin tulisan dan nama saya muncul di koran, hihihi..

Serunya Menari Bersama Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Kaltim

-dipublish di detikTravel Community pada 28/3/12, ada beberapa bagian yang telah mengalami penyuntingan oleh redaksi Detik Travel-
Seru dan meriah, itulah yang Anda dapatkan bila berkunjung ke perkampungan Suku Dayak Kenyah, Kaltim. Anda dapat menyaksikan langsung ragam budayanya, menari bersama, dan berfoto menggunakan atribut suku sambil menikmati alunan musik khas Suku Dayak Kenyah.
Tarian menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan saat berkunjung ke suatu daerah. Mengikuti alunan musik khas daerah tersebut dan ikut menari bersama masyarakatnya menjadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Pengalaman menarik ini akan Anda dapatkan bila berkunjung ke Desa Budaya Pampang. Sebuah perkampungan Suku Dayak Kenyah yang berjarak sekitar 25 km dari Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Hari Minggu siang merupakan waktu yang paling tepat untuk berkunjung ke Desa Budaya Pampang. Dengan membeli tiket seharga Rp 15.000 Anda sudah dapat menyaksikan serangkaian pertunjukkan tari yang digelar di Lamin Kampung atau Rumah Adat Suku Dayak. Pertunjukan tari ini mulai dari pukul 14.00 WITA sampai selesai.
Saat pertunjukan pun dimulai. Seorang MC dan beberapa pemain musik membuka pertunjukan. Selama berjalannya pertunjukan ada 6 tarian yang dipentaskan dari Desa Budaya Pampang.
Tarian pertama yang akan ditampilkan adalah Tari Nyelama Sakai. Sembilan orang penari belia membawakan tarian ini mejadi pembuka sekaligus ucapan selamat datang untuk para pengunjung. Kemudian acara dilanjutkan dengan penampilan Tari Kancet Lasan, dan Tari Enggang Terbang yang dibawakan bergantian.
Tari Nyelama Sakai
 Tari Kancet Lasan
Tari Enggang Terbang sendiri menceritakan tentang perpindahan masyarakat Suku Dayak dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik. Tarian ini dilakukan oleh sekelompok gadis Suku Dayak yang mengenakan hiasan kepala berlambang Burung Enggang. Gerakan yang cantik dengan alunan musik khas Suku Dayak Kenyah mengalun dengan sangat indah.

Tari Enggang Terbang

Selanjutnya, Tari Anyam Tali pun turut melengkapi pertunjukan daerah ini. Tarian yang satu ini menggambarkan suku Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub suku. Namun, dengan adanya perbedaan ini mereka tetap saling bersahabat satu sama lain. Di atas simpul tali, terdapat patung burung Enggang yang disimbolkan sebagai seorang pemimpin.

Tari Anyam Tali

Pada penampilan kelima, Tari Pampaga tampil memeriahkan suasana. Tarian ini melambangkan sebuah perangkap yang sengaja dibuat untuk mengusir hama. Ditarikan oleh 6 gadis muda, tarian ini dimainkan dengan menggunakan peralatan bambu.
Tari Pampaga
Empat orang penari memainkan bilah-bilah bambu yang menimbulkan suara yang berirama, sedangkan sisanya menari di atas bambu-bambu tadi. Makin lama irama bambu terdengar makin cepat, membuat para penari juga harus mempercepat langkahnya saat menari di atas bambu-bambu itu agar kakinya tak terjepit.
Setelah penampilan para penari Pampaga, pembawa acara memberikan kesempatan bagi para tamu untuk ikut mencoba menari Pampaga bersama para penari. Tak sedikit pengunjung yang tertarik dan mencoba ikut menari tari Pampaga.
Rasa takut ketika harus melompati bilah-bilah bambu dengan irama yang kian lama kian cepat justru menjadi tantangan yang mengasyikkan. Banyaknya pengunjung yang ingin ikut mencoba Tari Pampaga membuat MC harus menutup sesi tari ini dan melanjutkan ke tarian selanjutnya.
Tari terakhir yang ditampilkan adalah Tari Leleng. Tari ini merupakan ucapan selamat berpisah yang ditarikan oleh para penari yang telah tampil. Para penari juga akan mengajak para pengunjung untuk ikut menari bersama.

Tari Leleng
Usai penampilan Tari Leleng para pengunjung bisa berfoto bersama dengan ibu-ibu bertelinga panjang ataupun dengan para tetua suku. Namun, untuk bisa berfoto bersama mereka Anda perlu membayar sekitar Rp 25.000 untuk 1 sampai 3 kali jepret.
Ibu bertelinga panjang
Selain itu, Anda pun juga bisa berfoto dengan pakaian khas Suku Dayak Kenyah seperti yang dikenakan penari-penari tadi, lho. Cukup dengan membayar sewa Rp 25.000 per pakaian Anda sudah bisa bergaya ala Suku Dayak.
Selesai menikmati keindahan gerak tari khas Suku Dayak Kenyah, Anda bisa membeli oleh-oleh di sini. Beragam pernak pernik dari manik-manik maupun kayu dapat dibeli di Rumah Lamin maupun rumah-rumah penduduk.
Desa Budaya Pampang terbilang cukup mudah untuk dikunjungi. Perkampungan Suku Dayak Kenyah ini dapat ditempuh dari Samarinda dengan menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat melalui jalan poros Samarinda-Bontang. Desa Pampang sendiri terletak sekitar 5 km dari jalan poros.
Jadi, jika Anda ingin melihat kehidupan Suku Dayak Kenyah, tarian dan tato orang Dayak, Lamin, telinga panjang, ataupun membeli oleh-oleh khas Dayak dalam satu waktu, tidak salah jika Anda berkunjung ke Desa Pampang.

Jalan-Jalan Sendiri Sehari ke Green Canyon

Jalan-jalan (sendiri)
Jalan-jalan sendiri seru sih, tapi jujur kalau disuruh milih jalan sendiri atau barengan sama temen, pasti saya akan jawab bareng sama temen J
Terpaksa jalan-jalan sendiri karena sistem kerja saya pake sistem roster 6:2 (6 minggu di site di Kaltim dan 2 minggu full libur balik ke Jakarta), berbeda dengan teman-teman lain yang liburnya pas weekend saja. Nah, pas weekend, saya ada jadwal kuliah. Secara waktu memang udah cukup sulit untuk bisa ngetrip bareng temen-temen atau ikut trip backpacker-an kayak biasanya.
Jadi, berangkatlah saya ke Green Canyon (GC) sendirian. Trip ke GC sendiri juga nggak bakal jadi kalau saya nggak ikutan river boarding di puncak dengan teman-teman dari Batu Sejajar, yang mengenalkan saya dengan Mas Gani dari Janggala Adventure di Green Canyon.
Selain karena memang pengen merasakan serunya berenang di Green Canyon, juga karena udah lama sekali saya nggak ke Pangandaran dan sekitarnya sejak terakhir ke sana tahun 2000-an. Lagipula, Green Canyon juga nggak jauh-jauh banget, masih bisa ditempuh dalam 1 hari perjalanan, dan pertimbangan yang paling penting adalah saya yakin aman buat ke sana sendirian J Pengalaman kuliah di Bandung juga bikin saya pede jalan sendiri.
Green Canyon
Green Canyon cakep!
Airnya pas hijau, meski nggak hijau banget karena paginya sempat hujan gerimis. Airnya lumayan dingin awalnya, tapi kalau sudah nyebur dan berenang, lama-lama juga terasa biasa. Tebing-tebing bebatuan di pinggir-pinggir sungainya asli keren.


Agak jauh berenang ke dalam, saya ditunjukin sama guide saya tentang pemandian putri. Buat sampai ke sana, kita memang kudu manjat tebing-tebing yang lumayan licin, namun nggak terlalu tinggi kok. Airnya buset dah, dingin abis.



Oh ya di GC ini, kalau mau uji adrenalin bisa nyoba loncat dari batu payung yang jaraknya sekitar 7 m dari atas sungai.
Sayangnya, pas saya dateng daun-daunnya sedang keguguran, eh gugur maksudnya.. Informasi dari guidenya, 1 minggu sekali ada petugas dari Dinas Pariwisata yang membersihkan daun-daun itu dari sungai.
Batu Karas
Puas berenang di Green Canyon, destinasi kedua saya ialah Pantai Batu Karas yang katanya bagus buat surfing. Buat yang nggak bisa surfing, ada beberapa water sport yang seru buat dicoba seperti banana boat dan UFO. Biayanya juga terjangkau, Rp 30.000 untuk banana boat dan Rp 50.000 untuk UFO per putaran.

Kalo nggak bisa surfing, nggak pengen maen water sport juga, terus mau ngapain di Batu Karas?
Nah, inilah sisi keren Batu Karas buat saya. Di sisi kanan pantai, ada sebidang bagian pantai yang kedalamannya sekitar seperut sampai sedada orang dewasa, yang enak banget buat tempat berenang. Berasa kayak ada kolam renang di tengah pantai J Ombaknya terkadang lumayan gede (makanya bagus buat surfing), tapi enak banget pas berenang sambil sesekali ‘pasrah’ kesapu gelombang ombak hingga pinggir pantai.

Spot yahud buat berenang di Batu Karas
So far, kalo buat berenang, Batu Karas termasuk salah satu pantai yang paling oke buat saya. Di sana juga belum terlalu rame, kebanyakan malah bule-bule yang datang dan ngajarin anaknya main surfing.
Salah satu anak bule yang banyak saya temui di Batu Karas

Transportasi ke Green Canyon
Kalau mau ke sana sendiri, naek apa? Rutenya gimana?
Buat yang sistem kerjanya mirip-mirip sama saya alias kita libur teman yang lain nggak dan pengen jalan sendiri (daripada nggak jalan-jalan), nih saya share rute, bis, biaya, dan tipsnya.
Ø  Dari Jakarta, kita bisa ke Kampung Rambutan dulu untuk naik bis jurusan Jakarta – Pangandaran. Bis terakhir dari Kp. Rambutan sekitar jam 9 malam. Tarifnya sekitar 55 – 60 ribu rupiah, tergantung bisnya ber-AC Ekonomi atau Patas. Turun di terminal Pangandaran, bis sampai sekitar jam 5 pagi.
Ø  Dari terminal Pangandaran, kita lanjut naik angkot Cijulang sampai terminal Cijulang. Ongkosnya sekitar 3000 atau 4000 (lupa lupa inget :D).
Ø  Dari terminal Cijulang, kalau udah ada janji dengan guide lokal di sana tinggal ke alamatnya si guide, bisa pakai becak atau ojek. Tapi kalau mau langsung ke Green Canyon bisa langsung aja pake Ojek. Tarif ojek rata-rata Rp 15 ribu.
Ø  Sampai di Green Canyon, bisa beli tiket masuk plus sewa perahu seharga Rp 75.000 per 45 menit.
Tips Trip GC
Ø  Angkot dari terminal Cijulang ke Pangandaran terakhir jam 5 sore. Jadi kalau mau pulang naik angkot usahakan sebelum jam 5 udah sampe Cijulang. Kalau ketinggalan angkot, banyak abang ojek kok J
Ø  Bis terakhir dari Pangandaran ke Jakarta jam 8 malam. Nah, kalau yang ini jangan sampai ketinggalan bis kecuali memang masih pengen nginep lagi :p Kalau mau nginep lagi, penginapan banyak di daerah sekitar Batu Karas.
Ø  Kalau waktunya masih longgar, bisa mampir juga ke penangkaran penyu di Batu Hiu, beaching dan foto-foto di Hidden Beach Pantai Madasari atau juga mampir sebentar di Tugu Tsunami Pangandaran.
Ø  Tips paling penting: jangan sampe lupa pake sunblock pas di Batu Karas! Gara-gara udah nggak sabar buat berenang dan kelupaan pake sunblock, kulit muka saya terbakar dengan Sukses. Udah lewat dari 2 minggu tetep aja ini muka masih jeling L
Anyway, one day trip to Green Canyon and Batu Karas was quite fun. Don’t think twice to go for those of you who wanna have fun there J