Ada Pelangi di Langit Sanga-Sanga

Usai hujan deras seharian, tiba-tiba muncul pelangi sore ini.
Bentuk pelanginya cantik, tidak melengkung seperti yang biasa saya lihat namun memanjang dari atas ke bawah. Dan terlihat jelas karena terbentang persis di depan lahan kosong.
Sayang warna-nya tak begitu jelas terlihat, motretnya via handphone :)
Baru juga saya tinggal sebentar untuk wudhu, eh pelanginya sudah menghilang saat saya kembali.
Lenyap, tak berbekas.
Untunglah sudah sempat saya potret sebelumnya.
Lamanya pelangi memang tidak sepadan dengan hujan yang turun. Tapi tak apalah, indahnya pelangi seakan menjadi obat penawar buat jalanan yang dipenuhi lumpur akibat derasnya hujan. 

Life is a Journey, Meet It!

I have ever been asked by someone at the airport:
Why do you love your job though it makes your skin darker day by day, while other girls are very eager to do anything to make their skin whiter?
I replied him:
Life is too beautiful to be left behind the desk, that's the reason why.
--------
Hampir setiap hari saya ke lapangan, lebih tepatnya berkunjung dan berinteraksi dengan masyarakat lokal di desa-desa sekitar lokasi site perusahaan saya di Kalimantan Timur. Berpanas-panasan di bawah sinar matahari yang panasnya begitu aduhai membakar kulit.
Hitam, sudah pasti. Tiap saya pulang cuti, komentar dari teman-teman saya, entah teman di kantor, kuliah, masa kecil, les, dsb selalu saja sama: tambah hitam. 
Kalau kulit hitam karena terbakar matahari, nanti masih bisa dibalikin sesuai warna kulit asli sebelumnya. Tapi pengalaman dan kesempatan yang saya dapatkan saat ini? Tidak semua orang mendapatkannya.
Itulah kenapa saya nggak terlalu peduli kalau sekarang menjadi tambah hitam, meski beberapa merk sunblock baik untuk muka maupun badan selalu ada di tas saya :D.
Pekerjaan saya bukanlah sebuah pekerjaan jalan-jalan, ada tanggung jawab besar yang saya emban di situ. Namun dari pekerjaanlah saya mendapatkan banyak kesempatan untuk bisa melihat, mendengar dan tentunya memotret berbagai pemandangan menarik yang tidak akan pernah saya lihat jika saya bekerja di belakang meja.
Seperti rumah lamin, rumah khas suku Dayak yang selama ini hanya saya lihat dari gambar.

Kunjungan ke rumah lamin ini sama sekali tidak direncanakan. Usai menyelesaikan agenda saya di kecamatan Jempang, saya dilewatkan jalan pulang yang melalui Rumah Lamin di Kampung Mancong, Kutai Barat oleh seorang rekan. Tidak cuma melewati, tapi saya juga diajak turun dan masuk ke dalam rumah Lamin.
Di hari lain, salah satu kampung yang menjadi agenda kunjungan saya ternyata memiliki keunikan tersendiri. Seluruh infrastrukturnya terbuat dari kayu ulin. Tanjung Laong di Kecamatan Muara Pahu, Kutai Barat, itu nama tempatnya.

Satu waktu, saat tengah berbincang-bincang dengan seorang warga dari Kelurahan Jawa, Kec. Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, beliau menunjukkan jika di pekarangan rumahnya ada ‘Batu Pertama Kedaulatan RIS’, yang belum pernah saya lihat dari buku sejarah cetakan penerbit manapun dari sejak jaman saya SD hingga tamat kuliah!.

Dari Bapak itu juga, saya mendapatkan informasi jika Sanga-Sanga merupakan sebuah kota wisata sejarah. Di kota ini, kita bisa menemukan beberapa monument perjuangan seperti Museum Perjuangan, Taman Makam Pahlawan Wadah Batuah, juga Tugu Peringatan.
Tak hanya perjalanan melalui darat, namun juga melalui akses laut. Kesempatan ini datang ketika saya harus mengadakan field survey ke sebuah wilayah yang hanya bisa dilalui dengan menggunakan boat, di kecamatan Balikpapan Barat. Dan inilah pemandangan yang saya lihat di sepanjang perjalanan menggunakan boat untuk menjangkau lokasi yang saya tuju.

Sebenarnya masih banyak lagi pengalaman lainnya yang terlalu menarik untuk saya simpan sendiri, namun akan terlalu banyak kalau semua saya tuliskan sekarang :D
Dinikmati Mir, tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan seperti yang kamu dapat.
Pesan atasan saya.
Saya memang hitam, tapi saya bahagia. Bagi saya, apa yang saya dapat saat ini rasanya tidak sebanding dengan hanya sekedar memiliki kulit putih (kata temen-temen saya lho kalau dulu saya putih :p).

Warna kulit bisa diubah, dari mulai cara instant maupun alami, namun pengalaman dan kesempatan untuk bisa mengunjungi tempat-tempat baru dan juga bertemu dengan orang-orang baru tidak diterima setiap orang. Tidak juga diterima setiap saat bagi yang sudah mendapatkannya.   

(Masih Tentang) Indahnya Belitung

Several countries have issued travel warnings not to visit Indonesia. It is now your time to make a statement that Indonesia is too beautiful to be passed.
-Tulisan di tas Mbak Tety, teman baru dari IndoNikon Trip ke Belitung-
------------------------------------
Saya tahu Belitung sejak saya kecil. Bukan hanya karena Belitung ada dalam mata pelajaran IPS waktu saya SD, tapi juga dari cerita Mama dan Nenek saya yang berasal dari Muntok, Bangka, pulau di sebelah Belitung. Namun baru itu saja yang saya tahu: Belitung, pulau di sebelah pulau kampung halaman Nenek saya.
Hingga saya membaca novel dan menonton film Laskar Pelangi, dari situlah saya mulai mendapatkan bayangan seperti apa gambaran rupa Pulau Belitung. Akhirnya, setelah sekian lama memendam keinginan untuk ke Belitung, tulisan ‘Selamat Datang di Negeri Laskar Pelangi’ seolah menjadi ucapan selamat datang begitu saya sampai Bandara Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, bersama beberapa teman dari klub foto IndoNikon.
Dari Mas Jojing, tour guide yang menjemput di Bandara, saya baru tahu jika sejak Laskar Pelangi meledak di pasaran, nama film itu lantas digunakan sebagai salah satu ikon wisata untuk Belitung.  

Tapi tak mengherankan jika Belitung kini gencar dipromosikan menjadi salah satu tujuan wisata di Indonesia.
Begitu mobil jemputan trip IndoNikon mulai meninggalkan area bandara, sepanjang jalan yang saya lihat adalah pemadangan yang teduh dan asri. Tak berapa lama dari saat kami meninggalkan bandara, pinggiran pantai terlihat di sisi kiri jalan.
Keindahan yang saya lihat di sepanjang jalan masih belum seberapa. Perjalanan laut menuju Pulau Lengkuas dari Tanjung Kelayang yang menjadi tempat sandaran kapal merupakan sebuah amazing journey.
Air lautnya jernih banget, berwarna hijau dan sesekali kelihatan berkilauan terkena sinar matahari. Bebatuan granit tampak menjulang di tengah-tengah lautan. Saking beningnya air laut, banyak terumbu karang dapat dengan mudah dilihat dari atas permukaan air laut. Satu hal yang paling saya suka dari laut Belitung, tidak ada sampah di sepanjang laut.
Dari puncak Menara Mercusuar setinggi lebih kurang 50 meter di Pulau Lengkuas, keindahan Belitung terasa begitu nyata. Satu kata yang saya ucapkan untuk Belitung saat itu: luar biasa (eh, jadi 2 kata ya? :D). Semua yang ada di depan saya: air laut, kapal, pohon kelapa, pasir putih, dan bebatuan granit, membentuk satu kombinasi yang sangat cantik.

Sedikit gambar dari keindahan Belitung, diambil dari lantai 16-18 Menara Mercusuar P. Lengkuas
Tak hanya wisata alamnya yang memukau, Belitung juga menyuguhkan wisata kuliner yang begitu memanjakan lidah. Ikan bulan masak pedas, cumi-cumi goreng plus sambal kecap atau udang bakarnya, meminjam istilah Pak Bondan, mak nyus banget :)

Di hari terakhir trip, saya dan teman-teman diajak oleh salah satu tour guide mengunjungi pantai yang letaknya di belakang cottage tempat kita menginap di Pulau Babi. Pantainya tak kalah cantik dengan pantai di Pulau Lengkuas. Bening, dua bintang laut terlihat jelas di bawah kilauan air.


Sepasang bintang laut
Yippe, di sini juga saya tak hanya bisa melihat tapi juga memegang langsung si bintang laut :D.
 
Maaf ya narsis sedikit :)
Masih banyak lagi keindahan lain dari Belitung yang terlalu panjang jika semua saya ceritakan di sini. Tak terhitung berapa banyak spot di sana yang mengundang decak kagum.

Dan saya yakin, keindahan-keindahan seperti ini tidak hanya akan saya temukan di Belitung, tapi juga di tempat-tempat lain di seluruh negeri ini.  Itulah sebabnya saya sama sekali tidak pernah tergiur ajakan teman-teman saya untuk pergi berwisata belanja ke negeri tetangga sebelah, karena bagi saya, keindahan alam seperti ini tidak sebanding dengan sekedar wisata belanja :)

Indahnya Belitung

Welcome to the real paradise, welcome to Belitung.
Tulisan dalam spanduk yang terpasang di halaman Bandara Tanjung Pandan, Belitung.
----------------------------------
What do you call a place with:
Calm bluish seawater

Granite rocks scattered beautifully at the sea

A 50 meter tall old lighthouse

Coconut trees along the beach

Several beautiful islands will be passed in your way to reach your destination island

A beach with white sands


Gulls flying over the beach


Beautiful Starfish

Stunning Sunset


And I, totally agreed with the words written on the banner :)

After the Honey Moon

Marriage is not as beautiful as it sounds…

Lupa ngutip-nya dari mana :D
------------------------------------------------------------






Ceritanya ringan dan gampang dicerna, namun sayang akhir ceritanya sedikit menggantung. Itu yang saya rasakan begitu selesai membaca novel ‘After the Honeymoon’, a novel by Ollie. Beli novel ini karena saya tertarik dengan cover dan judulnya yang mengundang rasa penasaran :)

Inti novel ini bercerita tentang kehidupan Ata dan Barra, sepasang pengantin baru yang harus menghadapi kenyataan bahwa ternyata hidup berumah tangga tidaklah seindah pesta pernikahan dan bulan madu mereka. 

Seperti umumnya novel-novel lainnya, After the Honeymoon ditutup dengan kisah happy ending antara Ata dan Barra, juga konflik-konflik lain yang menjadi bumbu novel ini. Tapi sayangnya, seperti yang saya tulis di awal, akhir ceritanya sedikit menggantung. Tidak ada kejelasan penyelesaian masalah antara Ata, Barra dengan kedua orang tuanya masing-masing.

Buku ini cukup menarik, meski ada bagian yang menimbulkan pertanyaan, yaitu waktu Barra dinas di Solo selama beberapa bulan dan ia diceritakan bisa menyetir tanpa ada prolog tentang trauma menyetirnya selama ini. Padahal begitu ia kembali ke Jakarta, sama seperti waktu ia belum pergi ke Solo, Barra tetap tidak bisa menyetir sebelum akhirnya ia mengikuti sebuah kursus setir mobil.

Ada beberapa trivia menarik yang saya dapat dari buku ini:

1.     Bagaimanapun juga cowok harus bisa menyetir :p
2.     Jangan langsung mengkritik kopi yang dibuatkan untuk kita :)
3.     Jangan terlalu sering memakai daster dan nggak dandan meski di rumah (ups :p)
4.     Jangan membiarkan pasangan kita dugem sendirian :D

Anyway, novel ini sedikit atau banyak (tergantung pengalaman yang membacanya :D) memberikan pandangan dari sudut berbeda tentang sebuah pernikahan. Ada pembagian kewajiban yang harus jelas, tanggung jawab yang lebih luas, komitmen yang harus dijaga, dan ego yang harus dikurangi.

Oh ya, membaca novel ini mengingatkan saya pada satu ungkapan yang pernah saya dengar: ketika kita menikah dengan seseorang, kita tidak hanya menikah dengan dirinya tapi juga menikahi seluruh keluarganya :)

Citizen Journalism Training


Sejak jaman SMU hingga beberapa semester sebelum skripsi, cita-cita saya cuma satu: menjadi seorang wartawan. Alasannya bermacam-macam, agar bisa pergi ke banyak tempat, bertemu dengan banyak orang dari segala lapisan masyarakat ataupun mempengaruhi orang dengan tulisan-tulisan yang saya buat (ceile, idealisme jaman kuliah bo :D).
Meski saat ini saya bukanlah seorang wartawan ataupun full time writer, tapi yang namanya dunia Jurnalistik dan penulisan has still captivated my soul. Masih mudah ’meleleh’ juga tiap kali saya bertemu dengan para jurnalis muda yang begitu menguasai teori dan praktek penulisan, tampak charming (ups! :D).
Back to the main topic. Minggu lalu saya ikut training Jurnalistik dengan tema ’citizen dan convergent journalism’ yang diadakan Common Room di Bandung (yippee, ada alasan buat ke Bandung :D). Training diadakan selama 3 hari, dari 23 – 25 April 2010.
Training hari pertama, diisi dua pemateri yaitu Bapak Yasraf Amir Piliang (dosen FSRD ITB) dan Mbak Santi, salah satu peneliti di Bandung School of Communication Studies. Pak Yasraf memaparkan penjelasan mengenai Media Discourse. Definisi Media Discourse sendiri cukup teoritis buat saya (ya iyalah, namanya juga teori :p), tapi saya coba meringkaskan definisinya sesuai dengan pemahaman saya sebagai bentuk tulisan, visual ataupun oral yang dipresentasikan dalam berbagai praktik sosial di media.
Lebih jelasnya begini: Majalah A menampilkan 2 gambar pejabat tinggi di Indonesia sebagai cover. Pejabat pertama dengan posisi tangan yang seolah-olah tengah menunjuk gambar pejabat kedua, sedangkan gambar pejabat kedua diperlihatkan seolah-olah sedang berfikir. Kenapa saya tulis ‘seolah-olah’, karena memang media discourse lebih bersifat menginterpretasikan suatu gambar, tulisan atau perkataan di media.
Sebagai pemateri ke dua, Mbak Santi memberikan penjelasan dan diskusi yang menarik tentang konsep Citizen Jurnalism yang akhir-akhir ini semakin marak dilakukan oleh masyarakat.
Citizen Journalism?
Yup, mungkin istilah ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tapi apa sih sebenarnya Citizen Journalism ini?
Citizen Journalism (CJ) atau sering diartikan dengan Jurnalisme Warga sebenarnya bukanlah sebuah konsep baru di kalangan media. Pesta Blogger Indonesia bisa dibilang salah satu momen yang meramaikan wacana CJ. Inti dari konsep ini adalah publik-lah yang menjadi pengelola arus informasi atau dengan kata lain everybody can be a journalist. Nah, materi yang dibawakan Mbak Santi pun lebih banyak mengupas tentang pengertian, ruang lingkup maupun batasan-batasan dalam citizen journalism.
Di hari kedua, Mas Agus Rakasiwi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung memberikan materi dengan topik secara garis besar tentang metode penulisan, antara lain bagaimana kita harus fokus  ketika menulis sebuah tulisan. Satu tips berguna dari Mas Agus yang saya dapat: tulislah tulisan dengan ringkas dan jelas (PR buat saya yang masih suka menulis panjang :p).



Session dengan Mas Agus Rakasiwi

Sayangnya training hari ketiga terpaksa saya lewatkan berhubung ada event kantor. Terpaksa juga melewatkan ‘Bandung Car Free Day’ di sepanjang Dago Minggu pagi kemarin (arrgh!). Untungnya panitia mau berbaik hati mengirimkan materi hari ketiga yaitu tentang media tools via email.
So far, dua hari mengikuti training Jurnalistik cukup merefresh ilmu tentang dasar-dasar Jurnalistik maupun komunikasi yang saya dapat selama kuliah dulu. Memberikan pencerahan juga terkait beberapa hal tentang penulisan yang berhubungan dengan pekerjaan saya. Dan, tentunya juga memperluas networking saya terutama dengan para praktisi dan jurnalis yang memang berkecimpung di bidang ini :).

Little Reunion

Masa SMU adalah salah satu episode paling penuh warna dalam hidup saya. Salah satunya karena saya punya teman-teman yang penuh warna dan semarak.
 
Beberapa diantaranya ada Jenny, yang akrab dipanggil Jendro, teman sebangku saya di kelas 3. Juga ada Uning, teman les dan jalan-jalan, dan Ima yang sering kita panggil dengan nama Mami.
 
Dari mulai tiba-tiba kita semua punya marga ‘Cu’ di belakang nama kita masing-masing, makan di KFC tiap kali ada menu 10.000 ribu untuk berdua, ngecengin kakak tingkat tiap pulang ekskul Pramuka, jajan di SD dekat sekolah kita dulu, hingga wisata kuliner yang murah meriah di berbagai tempat di Magelang.

Karakter dan pembawaan kita pun berbeda-beda. Jenny sangat easy going, ceplas ceplos dan bersuara keras. Microphone pun bakalan ’keder’ kalo mendengar Jenny bicara (hihihi, piss Jen :D). Uning a.k.a Ningcu, punya bakat bercerita. Rasanya seperti didongengi tiap kali mendengar Uning bercerita tentang sesuatu. Sedangkan Ima, gaya bicaranya sering kita istilahkan dengan ‘kemriwik’ (bahasa Jawa untuk menyebut keripik yang renyah :D).

Setelah sekian tahun tidak bertemu, akhirnya saat pulang ke rumah waktu long weekend kemarin bisa juga saya ketemuan dengan Uning. Kami sempat juga lost contact antara tahun 2006 – 2008; saya kuliah di Bandung sementara Uning di Yogyakarta, dan sama-sama sempat berganti hand phone tanpa menyimpan no masing-masing terlebih dulu di sim card :). Tidak hanya saling bertukar cerita, makan dan jalan-jalan, tapi berfoto-foto di beberapa tempat main kami dulu di Magelang (for sure :D).




Foto-foto ketemuan dengan Uning baru sempat saya upload di facebook siang tadi. Tak membutuhkan waktu lama, comment dari Jenny, Uning dan Ima saling bermunculan. Meski minggu lalu saya hanya bisa ketemu dengan Uning, namun membaca comment dari Jenny dan Ima membuat saya seakan-akan juga sedang mengobrol dengan mereka. Saling menyela, bercanda, menyebut nama panggilan kami masing-masing, juga ngerumpi (haiyah, susah memang ibu-ibu mah :D).

In short, I love them all. This is one of my favorite friendships. Sepertinya semakin sulit mendapatkan teman yang begitu hangat dan ‘semeriah’ mereka. Lucky for me having them as one pleasant part in this life..

Kapan-kapan kita ketemuan semua ya ibu-ibu :D

Pelangi Di Langit

I am a big fan of rain, as long as it can be enjoyed :) Kalau terlalu deras juga yang ada malah takut :D

Saya suka dengan bau tanah yang segar tiap kali terkena air hujan. Saya betah berlama-lama duduk di pinggir jendela hanya untuk mendengarkan suara air hujan sembari menulis dan minum cokelat panas atau kopi. 
 
Satu lagi yang saya suka dari hujan: akan ada pelangi usai hujan reda. 
 
Waktu pulang kantor beberapa hari lalu, nggak sengaja saya lihat ada pelangi di langit.    
 
Untungnya hari itu saya membawa kamera pocket dalam tas. Kurang puas juga sih sebenarnya dengan hasil jepretan saya, berhubung lokasi yang tidak terlalu mendukung untuk mencari angle yang lebih bagus dan terhalang oleh banyaknya pohon dan tiang listrik.
 
Tapi lumayanlah, setidaknya saya masih bisa memotret sekaligus memandanginya hingga puas, karena ternyata banyak teman lain yang masih dalam perjalanan pulang sehingga tidak bisa melihat pelangi cantik ini.


Ah, sudah lama rasanya tak melihat pelangi di langit :)


What We Call for A Wedding Anniversary

Just got from my agenda. Names, to celebrate the wedding anniversary.
Wedding Anniversaries
First                  : Paper
Second              : Cotton
Third                 : Leather
Fourth               : Flower
Fifth                  : Wooden
Sixth                 : Candy
Seventh            : Copper
Eighth               : Bronze
Ninth                 : Pottery
Tenth                : Tin
Eleventh           : Steel
Twelfth              : Silk
Thirteenth          : Lace
Fourteenth         : Ivory
Fifteenth            : Crystal
Twentieth          : China
Twenty-fifth       : Silver
Thirtieth             : Pearl
Thirty-Fifth         : Coral
Fortieth             : Ruby
Forty-fifth          : Sapphire
Fiftieth               : Golden
Fifty-fifth           : Emerald
Seventy-fifth      : Diamond
Well, then I am thinking to say : Happy ‘Paper’ Anniversary to congratulate a dear friend of mine who will celebrate her first wedding anniversary next month!
Or, maybe, I will say it to my husband when our marriage turns into 1st one day :D.

Melepas Penat di Pulau Tidung

Long weekend. Libur 3 hari di akhir bulan Februari.
Waktu untuk rehat sejenak dari segala aktivitas maupun kehidupan di Jakarta yang terkadang juga menimbulkan pressure tersendiri.
Menikmati Sunrise di pantai Tidung, dan (untuk sejenak) benar-benar melupakan laporan bulanan, survey-survey maupun program-program pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan.

Merasakan nikmatnya menghirup udara segar bebas dari polusi, makan ikan bakar di pantai dan berdekatan dengan segala sesuatu yang diberikan alam ke kita.

Bersepeda dan berjalan-jalan di Pantai. Melepaskan segala kepenatan atas semua pekerjaan dan target yang ingin dicapai.

Mengagumi Sunset. Mengagumi salah satu ciptaan Yang Maha Kuasa. Sembari mensyukuri apa yang telah saya dapat. Entah bahagia entah sedih. Baik gagal maupun berhasil. Apapun itu, Alloh pasti memiliki rencana yang indah di balik itu semua buat saya. Seindah sunset ini (foto cantik ini diambil oleh Adi Wicaksono, saya ijin lagi ya Adi upload di sini).

Bertemu teman-teman baru. Nambah teman, nambah ilmu juga (makasih buat Harry Potter dan Mas Dani yang sudah mengajari teknik 'I Light This', meski hasilnya masih sangat belepotan, maklum newbie :D)
Meski hanya 3 hari, namun liburan di Pulau Tidung rasanya seperti membawa energi baru buat saya. Untuk kembali ke Jakarta, dan bertemu kembali dengan kemacetan dan rutinitas sehari-hari.
Adakalanya, kita memang harus meluangkan waktu sejenak untuk tidak memikirkan pekerjaan ataupun aktivitas lainnya sama sekali. Untuk membuat dan membiarkan pikiran kita beristirahat dan me-rechargenya untuk kembali fresh, sebelum kembali ke rutinitas sehari-sehari.
Maaf jika sebagian foto yang terpasang cukup narsis :).

Belanja Batik di Pasar Beringharjo


Tiap jalan-jalan ke Yogyakarta, saya pasti mampir ke Pasar Beringharjo, untuk ‘berburu’ Batik tentunya :). Sebenarnya batik dijual di berbagai tempat di Yogya, namun rasanya kurang lengkap jika jalan-jalan ke Yogya tanpa membeli batik di Pasar Beringharjo atau Bringharjo, demikian sebagian orang Jawa menyebutnya. 

Kok berburu, dan bukannya berbelanja? 

Banyak model baju yang unik dan tidak pasaran dengan harga murah yang saya beli dari Pasar Bringharjo, that’s why I call it as hunting, not shopping :D



Selain kawasan Malioboro, Pasar Bringharjo merupakan salah satu ciri khas Yogyakarta lainnya. Nuansa tradisional masih kental terasa di sini. Inilah pusat kegiatan perdagangan batik di Yogyakarta. 
‘Monggo Mbak batik’e diprisani rumiyin, badhe pados batik ingkang kados nopo?’

Demikian sapaan khas para pedagang di Pasar Bringharjo kepada para pengunjung. Pasar yang namanya berasal dari kata bering (pohon beringin) dan harjo (kesejahteraan) dalam Bahasa Jawa ini terletak di ujung sebelah selatan dari Jalan Malioboro, bersebelahan dengan museum sejarah Benteng Vredeburg.
 
Beragam jenis batik dapat ditemukan di sini, dari mulai kain batik, jarit (kain batik untuk bawahan berbusana Jawa), seprei batik, baju batik dengan berbagai macam model dan ukuran, hingga aksesoris rumah dari batik. 

Perkembangan batik yang cukup signifikan dalam beberapa tahun ini turut memberikan warna bagi berbagai model batik yang dijual di Pasar ini. Jika dulu model baju batik yang banyak dijual di Pasar Beringharjo adalah kemeja atau blouse untuk ibu-ibu, saat ini beragam baju batik dengan berbagai model khas anak muda dijual di pasar ini. Baju bermodel you can see pun beberapa kali saya lihat dijual di beberapa los. Harganya pun bervariasi, dari yang paling murah hingga termahal dapat kita temui disini, tergantung dari kualitas baju. 

Tapi masalah harga juga berhubungan dengan kemampuan kita menawar. Biasanya nih kalau kita menawar dalam bahasa Jawa, harga baju yang kita beli bisa lebih murah lagi :) Apalagi jika kita belinya grosir, harganya bisa semakin miring. Andai kata nggak bisa berbahasa Jawa pun, harga baju di Bringharjo masih murah kok, setidaknya lebih murah jika dibandingkan dengan harga di toko.

Jika haus atau lapar sehabis berbelanja Batik, di depan pasar ada sekelompok ibu-ibu yang menjual es cendol khas Yogya, juga nasi pecel. Es cendol Yogya ini variasi isinya lebih banyak dari es cendol lain pada umumnya, ada cam cau (semacam agar-agar yang terbuat dari daun cam cau) dan cendol putih yang terbuat dari tepung beras. Selain es cendol juga tersedia es kelapa muda dan jamu seperti kunyit atau beras kencur. Juga teh botol, pastinya :D

Sayangnya, pasar ini hanya buka sampai jam 5 sore. Sayangnya lagi, waktu terakhir saya ke sini Bringharjo lagi mati lampu, yah, nggak bisa deh motret bagian dalam pasarnya, gelap bo :)